Senin, 14 Maret 2011

Kerusakan Akibat Tsunami


HAL yang paling nyata terasa adalah kesunyian yang melingkupi seluruh tempat. Tak ada suara sedikit pun saat kami mendekati kota pantai yang tadinya berjaya ini. Menyusuri kelokan akhir di jalan berbukit sebelum menurun ke Minami Sanriku, tidak ada sesuatu yang dapat membuat Anda tak terkesiap saat melihat kehancuran yang begitu luar biasa. Selama 30 tahun bekerja sebagai jurnalis perang, saya telah meliput lebih dari 20 konflik dan beberapa gempa bumi besar, tetapi saya tak pernah melihat sesuatu yang lebih buruk dari ini."
Begitulah wartawan Alex Thomson dari koran Inggris, The Dailymail, memulai artikelnya tentang bencana gempa yang disusul tsunami yang melanda Jepang, Jumat pekan lalu. Thomson melaporkan, sesaat ia melewati kota-kota dan desa yang sama sekali tak tersentuh oleh bencana, bahkan tiada satu engsel pun yang lepas, dan sesaat kemudian setelah melewati belokan, ia terkesima.
"Pemandangan yang paling mengerikan terbentang di bawah menuju laut hingga sekitar empat mil. Seluruh kota yang berpenghuni sekitar 17.000 jiwa menghilang tanpa bekas. Sekitar 95 persen gedung-gedung yang ada tidak hanya rusak, melainkan juga sudah berupa serpihan-serpihan kayu, reruntuhan beton, dan potongan besi. Semua ini dihiasi dengan berbagai pajangan mengerikan dari detail-detail kehidupan yang telah hilang: seorang wanita tersenyum dari foto pernikahannya, sebuah gitar patah terbengkalai di antara sampah. Saya melihat sebuah boneka rusak dan halaman-halaman dari buku latihan sekolah seorang anak," tulis Thomson dalam artikelnya yang diterbitkan Senin (14/3/2011)
Polisi berupaya mencegah dia untuk menyusuri lebih lanjut, tetapi dia keluar dari kendaraan dan terus berjalan. "Yang dapat saya lihat sepanjang jalan hanyalah sebuah kota yang telah rata dengan tanah. Sebuah truk terangkat oleh kekuatan air. Empat buah mobil saling bertabrakan sementara atap sebuah rumah tergeletak di atasnya. Rumah-rumah hancur menjadi sebesar batangan korek api dan serpihan kayu. Di sebuah jalan menuju sekolah saya melihat empat-lima mobil terayun-ayun di ujung sebuah bukit. Pemandangan ini mengingatkan pada foto-foto yang diambil setelah ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia Kedua. Struktur beton bangunan memang bertahan, tapi selebihnya hilang."
Thomson datang ke lokasi itu hari Minggu siang, dua hari setelah bencana. "Hari ini semestinya menjadi waktu makan siang di hari Minggu, dengan para pengunjung dan orang lokal menikmati indahnya pantai dan area hutan di sekitarnya. Namun hanya ada sejumlah kecil manusia diseluruh area yang telah rata dengan tanah, dalam diam mencari korban atau kembali mencari sisa-sisa yang tertinggal dari rumah mereka, menemukan kembali harta benda yang tak sempat diselamatkan. Tak ada tangisan, histeria maupun kemarahan. Sudah menjadi sifat orang Jepang untuk melakukan apa yang harus mereka lakukan dalam diam dan penuh martabat. Gelombang pasang telah berakhir, tetapi sungai yang melalui kota meluap ke seluruh tempat karena desakan tsunami sudah mengubah ambang sungainya. Terdapat kolam-kolam air laut dan lumpur dimana-mana."
Thomson memerhatikan para penyelamat dengan lembut mengangkat tubuh yang tewas, membungkusnya dengan selimut dekil -satu-satunya yang mereka miliki, cinta, penghormatan dan adat saat orang-orang ini membungkus saudaranya yang tewas- orang-orang yang mereka kenal - barangkali justru lebih menyentuh ketimbang tangis yang pecah. Tubuh-tubuh itu akan dibawa ke atas bukit dan dibaringkan di sebuah sekolah di kota itu dan bergabung dengan yang lain di gimnasium sekolah yang difungsikan sebagai kamar mayat. Sepuluh ribu orang dipercaya telah hilang karena belum ada cara untuk mengetahui apakah mereka telah meninggal atau berhasil melarikan diri saat tsunami menerjang.
Di sekolah Thomson berjumpa dengan Yuchida Takuma, seorang pemilik restoran di kota itu. Dia membantu di kamar mayat, dengan sabar mengikat setiap kantong mayat biru dari polythene yang berjajar dalam barisan. "Saya beruntung masih hidup," kata Takuma kepada Thomson. "Kami mendengar suara sirene - peringatan tsunami - dan melaju ke atas bukit, ke sekolah, ke lokasi yang lebih tinggi. Sirene itu menyelamatkan hidup saya."
Thomson bertanya, apa yang tersisa dari restorannya di kota di bawah. "Oh," kata Takuma, ia berusah untuk tersenyum. "Tidak ada yang tersisa sama sekali. Semua ludes, tersapu sama seperti yang lainnya."
Di luar di lapangan baseball perguruan tinggi, sebuah helikopter militer Jepang mendarat untuk membongkar suplai makanan dan selimut yang sangat dibutuhkan, saat malam suhu di sini mendekati nol.
Di seberang jalan di bagian penerimaan tamu perguruan tinggi, Thomson bertemu guru bahasa Inggris, Shinji Saki. "Saya melihat semuanya," kata Saki. "Semuanya. Pertama ada gempa, guncangan. Lalu sirene peringatan akan ada tsunami. Saya sudah di sini, mengajar, di atas bukit. Namun dalam beberapa menit Anda mendengar suara gemuruh dan kemudian semuanya dimulai. Kami melihat seluruh kota kami hanyut. Kota itu tidak ada lagi. "
Thomson memandang Saki, bertanya-tanya bagaimana rasanya berkumpul di atas bukit pada hari Jumat itu dan memperhatikan teman, keluarga, dan rekan mereka disapu habis di depan mata mereka. "Ada sekitar 7.000 orang kami di atas bukit pada hari itu," kata Saki. "Mungkin beberapa ribu di sekolah di seberang bukit. Tetapi ada 17.000 orang di kota ini. Semua yang lain sudah hilang." Dia lalu mengangkat bahu. "Siapa yang tahu jika ada delapan atau sepuluh ribu orang masih hilang di sini. Saya hanya tidak bisa memahaminya."
Thomson dan Saki sedang berjalan kaki ketika Saki membeberkan horor yang dia saksikan pada hari Jumat itu. "Anda lihat orang ini. Saya melihat dia mengapung di air, duduk di atap rumahnya saat atap itu melayang. Saya melihatnya. Saya menatapnya dan tidak ada sama sekali yang bisa saya lakukan.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More