Senin, 21 Maret 2011

ABG Jaman doeloe



Istilah ABG populer beberapa tahun belakangan ini, tapi disini saya akan cerita ABG di tahun 65 an. Ketika saya ABG (umur 12-15 tahun) bersamaan dengan kondisi bangsa Indonesia yang makin sulit. Penduduk sulit memenuhi kebutuhan pokok, kalaupun punya uang barang-barang kebutuhan pokok sangat langka. Saat itu saya mulai memasuki SMP, setiap penghuni rumah mendapat jatah kartu untuk mendapatkan bahan kebutuhan pokok: minyak tanah, minyak goreng, beras (yang dicampur jagung), gula dsb nya.
Kami harus berhemat untuk memakainya dan harus pandai mengatur menu makanan agar tercukupi menu sehat keluarga. Setiap antri untuk mencairkan kupon makanan, saya diajak oleh kakak sepupu (saya hanya tiga bersaudara, tetapi ayah ibu selalu menerima keponakan yang sekolah di kota kecil kami, dan menumpang di keluarga kami), pulangnya membawa barang2 kebutuhan pokok, kadang2 minyak tanah yang saya bawa menetes…dan tetesan minyak ini akan berwarna pelangi jika terkena bekas air hujan yang belum kering di jalan tanah yang becek, membuat kami senang bermain-main…dan baru berhenti jika dimarahi kakak sepupu.
Guru di sekolah menganjurkan murid2 untuk mulai menanam pekarangan rumah dengan jagung, dan setiap hari kami diminta melaporkan perkembangannya: berapa tinggi, lebar batang, banyak daun dsb nya. Saat itu Presiden RI getol berpidato agar kita harus bisa berdiri di kaki kita sendiri, dan bisa mencukupi kebutuhan pokok kita, terutama beras.
Masing2 keluarga berusaha memenuhi kebutuhan hidup dari pekarangan rumahnya. Pagar yang memisahkan tanah kami dengan tetangga ditanami Lamtoro (kemlandingan) yang enak di buat botok, pohon turi yang bunganya bisa dibuat sayuran untuk pecel. Kami juga punya tanaman: pisang, bayam, kelapa, dan bahan2 untuk bumbu. Rata2 keluarga di kota kami hanya makan telor jika ayamnya bertelor, maklum harga telor mahal, dan tidak banyak karena saat itu belum dikenal ayam petelor. Kalau ingin makan telor, telor dicampur dengan kelapa muda dan diberi bumbu irisan bawang merah, cabe dan garam, agar bisa memenuhi keluarga. Seringkali kami makan telor bebek, karena lebih mengembang jika dibuat dadar. Makan ayam? Hanya ada dua alasan: ayamnya sakit atau anaknya sakit, sehingga supaya sehat perlu disembelihkan ayam, yang kedua untuk syukuran. Namun karena ayam yang dimiliki berupa ayam piaraan, kami tak tega jika harus menyembelihnya, dan setiap ayam punya nama yang akan datang jika dipanggil.
Kesulitan makin bertambah setelah RI keluar dari PBB dan konfrontasi dengan Malaysia, minyak goreng hilang dari pasaran, padahal bulan puasa baru saja mulai. Ibu meminta saya untuk mencari minyak goreng, dan berkeliling lah saya naik sepeda mengitari toko satu persatu. Setelah patah semangat, akhirnya saya beli 2 (dua) buah blue band dan bilang ke ibu…”Nggak apa2 kok bu, kita puasa tanpa minyak goreng, kita makan masakan yang dikukus saja, dan buat kue lebaran kita bikin tape ketan hitam dan juadah.”
Pada masa itu tidak ada toko yang menjual pakaian jadi, toko2 hanya menjual kain, sedangkan kita harus menjahit sendiri. Temanku saat SMP ada yang pandai menjahit, saya ingin belajar (maklum untuk kursus menjahit, ibu tak punya uang), jadi selama musim libur setiap hari saya belajar menjahit dirumahnya. Ibu yang melihat semangat saya, berusaha mengumpulkan uang untuk membeli mesin jahit secara cicilan. Jadilah saya penjahit keluarga, jika mau lebaran saya menjahit baju saya sendiri, baju adik dan kebaya ibu. Rasanya seneng sekali, maklum ongkos menjahit sangat mahal, kan lumayan bisa untuk beli bahan lagi.
O, iya saat mau Lebaran, keluarga kami mendapat jatah kain pampasan perang, yang bisa dipakai untuk membuat baju sekeluarga. Jadi kalau pergi berjalan-jalan, kami berpapasan dengan orang2 yang memakai kain motif sama hanya berbeda model dan ukuran saja. Saat itu jenis kain yang dijual ditoko sangat sederhana, dan setiap kali keluar model baru, seperti kain Benhur (gara2 ada film Benhur), maka banyak orang dikota kami memakai baju dengan kain Benhur, yang warnanya hanya ada dua, biru dan merah muda.
Saat saya SMP, setiap Sabtu dan Minggu digunakan untuk latihan menari. Saat itu kelompok menari kami, yang menggunakan pendopo kabupaten untuk latihan, sedang berencana mengisi acara di Candra Wilwatikta di Pandaan, Tretes. Latihan yang biasanya hanya seminggu sekali diubah menjadi seminggu empat kali. Pada saatnya, kami berombongan (5 bis) pergi ke Tretes. Saat itu Candra Wilwatikta masih baru, kamar mandi yang tersedia tak bisa memenuhi rombongan kami, jadi lah kami beramai-ramai mandi di sungai yang saat itu mengalir jernih. Selesai pentas, kami menuju Surabaya dan tidur di gedung seberang Kebon Binatang Wonokromo (kalau tak salah sekarang digunakan sebagai museum Mpu Tantular). Esok paginya, Kepala Dinas Kebudayaan datang dan memberi kami karangan bunga, dan sesudah itu kami boleh menikmati acara bebas jalan-jalan di Kebon Binatang Wonokromo. Itu adalah pertama kalinya saya pergi keluar kota tanpa orang tua, rasanya senang sekali, di Bonbin saya mencoba buah Siwalan, yang nantinya menjadi salah satu buah kesukaan saya.
Sebulan sejak acara di Wilwatikta ini, terjadi peritiwa 30 September 1965. Jalanan dikotaku sangat mencekam, kaum pria tidak tidur di rumah, tapi berkelompok di kantor, termasuk ayah saya. Kami hanya bersama ibu, dan sebelum tidur, ibu mengajak kami berdoa memohon keselamatan pada Allah swt. Suatu malam, terjadi suara gedor2an, dan banyak orang berteriak, kami menggigil ketakutan dan dipeluk ibu. Ternyata besoknya kami tahu, bahwa tetangga belakang rumah kami ditangkap dan sejak itu hilang tak ada kabarnya lagi.
Pada suatu pagi saya datang disekolah, teman2 disekolah sudah ribut katanya banyak mayat di sungai. Sekolah saya SMP III Madiun terletak di sebelah kanan kantor Residen Madiun dan kira2 100 meter didepan kantor Residen dan dibatasi Taman Makam Pahlawan, mengalir Bengawan (sungai) Madiun. Walaupun dilarang guru (tetapi mereka juga sama2 ingin tahu), kami beramai-ramai pergi ke sungai Madiun. Ya Allah….ternyata sungai sudah penuh dengan mayat bergelimpangan, yang diikat menjadi satu seperti rakit. Hal seperti ini terjadi berhari-hari, bahkan rasanya lebih dari satu bulan…sungai menjadi bau, dan kami tidak berani lagi makan ikan sungai. Semoga kejadian seperti ini tak terulang lagi.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More